Minggu, 15 Juni 2014

Pembagian Nafsu Manusia



Nafsu itu adalah keinginan manusia yang tersirat dalam akal pikirannya. Nafsu ada yang baik, yaitu nafsu yang tidak bertentangan dengan hati nurani serta perintah-perintah dan larangan-larangan yang Allah tetapkan. Namun ada pula nafsu yang buruk, yaitu nafsu yang hanya untuk memenuhi keinginan pikirannya saja, tanpa melibatkan hati nurani dan ketetapan Allah. Berikut ini adalah jenis-jenis nafsu menurut Islam.
            Nafsu terbagi menjadi 3, yaitu:
1.      NAFSU AMAROH
Nafsu ini memerintahkan seseorang kepada kburukan,dan apabila
memerintah kepada kebaikan maka hasil akhirya juga buruk.
ﺇﻥ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻷﻣﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﺴﻮﺀ      
"sungguh nafsu/jiwa itu memerintahkan pd kburukan"
Nafsu yang berbangga apabila membuat sesuatu kemungkaran. Orang yang melakukan nafsu ini  adalah dari golongan yang bermaksiat di mata dan di hatinya. Dan mereka adalah golongan ahli neraka.
ini adalah tingkatan yang paling rendah. Nafsul amarah cenderung mendorong manusia untuk melakukan perbuatan keji dan rendah. Keberadaan nafsu ini Disebutkan dalam Surat Yusuf ayat 53:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ.
"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"[1]
Nafsu ini sangat condong pada kejahatan. Alamnya adalah alam kebendaan, merasa mampu mengatur gerak lahir saja dengan tidak ada sangsi apa-apa kecuali sangsi yang bersifat lahiriah. Ia senantiasa memandang bagian luar saja, ia bersifat jahil, kikir, takabbur, loba, gemar berkata-kata yang tidak bermanfaat, pemarah, suka makan, dengki, lupa diri, buruk perangai, suka menyakiti manusia sering memperturutkan keinginan syahwat secara berlebihan dan lain-lain.[2]
Untuk mengobati nafsu ammarah, hendak didawamkan berzikir LA ILAAHA ILLALLAH sebanyak-banyaknya. Zikir itu ibarat senjata yang tajam yang berguna untuk memerangi amarah.


2.      NAFSU LAWAMAH
Nafsu Lawwamah adalah potensi/dorongan/hasrat/nafsu yang berusaha dikendalikan sesuai perintah Tuhan. Manusia yang memiliki nafsu lawwamah mereka akan labil.
Di satu saat dia mengikuti akalnya, di saat yang lain dia mengikuti nafsunya. Namun kecenderungannya dia akan mengikuti nafsunya lebih besar daripada akalnya. Ketika seseorang memerangi nafsu ini & ditekan terus supaya nafsu ini ikut pd suatu yg benar menurut sari'at ,maka seorang pun takkan mampu mengalahkan nafsu ini. Kemudian nafsu ini akan kmbali ke pemiliknya dgn dicela.an. Nafsu ini menyadari apabila melakukan suatu kemungkaran. nafsu mereka tetap dilakukan walau mereka tahu itu salah.
Nafsu ini sering mengkritik dan menyesali tindakan yang tidak patut yang dilakukan atas dorongan nafsul lawwamah. Keberadaan nafsu ini disebutkan dalam Surat Al Qiyamah ayat 2:
 وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ الَّوَّامَةِ
"Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)"[3]
     Pada tingkatan ini seseorang akan menyesali perbuatan buruknya, dia sering merenung dan mengkritik semua perbuatannya yang keliru. Selanjutnya dia berusaha agar perbuatan buruk yang telah dilakukan tidak terulang lagi.
Nafsu ini setengah jahat. Alamnya adalah alam barzah, yakni alam kubur. Ia ingat akan adanya mati, kelakuannya kadang-kadang rindu kepada Allah, rindu kepada ibadat, menjaga hatinya dari kejahatan. Ia kadang-kadang menyesal terhadap kesalahannya, tetapi masih saja bersifat ujub, riya', banyak fikir, dan senang merintangi manusia yang akan berbuat baik. Ia senang namanya terkenal dimana-mana, dan senang menjadi pemimpin orang banyak. Namun sebaliknya ia tidak ketinggalan untuk bersedekah, puasa, shalat, tetapi ibadahnya masih bercampur dengan syirik khafi, yaitu syirik yang tersembunyi. Untuk mengobati nafsu lauwamah adalah dengan memperbanyak zikir ALLAH, ALLAH, ALLAH dengan disertai taubat.
3.      NAFSU MUT'MAINAH
Nafsu Mutmainah adalah potensi/dorongan/hasrat/nafsu yang sudah terkendali/sesuai perintah Tuhan. Tingkat nafsu yang kempat adalah nafsul Muthmainnah, keberadaan nafsu ini disebutkan dalam Surat Al fajr 27-31 :
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّ
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."[4]

Orang yang telah mencapai tingkat ini jiwanya jadi tenang , penuh rasa tawakkal, ridha dengan semua ketetapan Allah, tidak disentuh rasa duka, sedih dan cemas. Manusia yang memiliki nafsu mutmainah nafsunya akan selalu mengikuti akalnya sehingga ia selalu berhati-hati tidak terburu-buru dan gegabah menuruti keinginan nafsunya. Manusia-manusia inilah yang diseru Allah untuk memasuki surga-Nya
Berikut dalam Al Qur’an Surat As Sajdah (32) 15-16 disebutkan bagaimana orang-orang beriman telah memaksa nafsu mereka:

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Kami mereka menyungkur sujud dan bertasbih memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”[5]






[1]  H. Muhammad Shohib, MA, Al-qur’an dan Terjemahannya, (Bogor:PT Hati Emas, 2007) h.242.
[2] Uwes Al-qorni, 60 Penyakit Hati, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1999) h.31.
[3] H. Muhammad Shohib, Alqur’an dan terjemahannya, (Bogor: PT. Hati Emas, 2007), h. 577.
[4] Ibid, 593.
[5] Ibid, 415.

tugas refleksi IPI



Nama               : Al Mar’atus Sholikhah
NIM                : D71213076
Matakuliah :Ilmu Pendidikan islam
Tugas refleksi Ilmu Pendidikan Islam
Semasa menjalani mata kulian Ilmu Pendidikan Islam ini, banyak sekali hal-hal pengetahuan tentang pendidikan yang saya dapatkan, antara lain bahwa menjadi pendidik itu mempunyai persyaratan agar pendidikan berjalan dengan efektif dan efisien, adapun syarat-syaratnya yaitu umurnya harus dewasa, sehat jasmani dan rohani, harus ahli dalam mengajar,harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi. Dari semua syarat diatas, maka syarat-syarat tersebut harus terpenuhi tidak tertinggal satu pun, misalnya jika pendidik tidak ahli dan tidak menguasai mata pelajaran yang diajarkan maka tidak mungkin pendidik tersebut dapat mengajarkan kepada peserta didiknya.
Kemudian sebagai pendidik juga wajib mempunyai strategi pembelajaran tersendiri (khusus) untuk peserta didiknya, misalnya seperti:
Strategi Mengajar Sukses
1.      Yakin setiap peserta didik luar biasa
Dengan rasa keyakinan awal katika mengajar bahwa semua peserta didik luar biasa, kita akan lebih bersemangat untuk memberikan ilmu kita.
2.      Belajar dengan menyenangkan
Dengan cara menyelipkan humor, bukan mengajar dengan sikap pasif, biasa saja, yang menjadikan peserta didik jenuh.
3.      Mengaitkan materi dengan kehidupan peserta didik
Dengan cara mengaitkan materi dengan kehidupan  bisa jadi peserta didik lebih memahami ketika dikaitkan dengan kehidupannya, sehingga peserta didik dapat langsung ikut berperan didalamnya.
            Di tinjau dari sisi lain, hal-hal yang saya dapat dari mata kuliah IPI ketika didalam kelas yakni, kita bias berdiskusi dengan cara Tanya jawab, agar kita dapat mengetahui permasalahan pendidikan, dan saya dapat tambahan-tambahan ilmu dari para mahasisiwa yang memeparkan mata kuliah ini dengan memberi sanggahan dengan mengutarakan pikiran (ide-idenya), atau  menyelipkan ilmu yang lain, seperti ketika membahas tentang salah satu syarat pendidik salah satunya yaitu harus sehat jasmani rohani, dan ketika itu ada mahasiswa yang menyangkal bahwa dahulu ada seeorang filosof, akan tetapi di gila, sering pergi kepasar-pasar untuk melamun, dipasar ia sering menulis coretan-coretan kecil yang berisi tentang pemikirannya terhadap filsafat, beberapa masyarakat mengatakan dia gila karena terlalu mahabbah kepada allah, dia dianggap para masyarakat gila karena kelakuan-nya terkadang memang seperti layaknya orang gila.
Kemudian setelah bermusyawarah dengan mahasiswa yang lain, bahwa kalau orang gila yang seperti itu maka bukan dikatakan orang gila, dikarenakan dia gila karena kecintaannya terhadap tuhan. Tidak mungkin orang gila dapat mengarang ataupun mengarang pemikiran, ide-ide  seperti itu, karena sebenarnya orang gila itu otaknya sudah tidak bias dikuasai, ia tak tahu mana yang baik dan benar.
Jika dibandingkan dengan orang gila zaman sekarang, penyebabnya itu bukan disebabkan oleh Mahabbah, akan tetapi karena hubbub dunya, seperti kehilangan pacarnya, bangkrut perusahaannya, dll. Dan banyak sekali hal-hal yang saya dapatkan ketika mata kuliah IPI.
            Inilah hasil refleksi saya selama mengukuti mata kulian Ilmi Pendidikan Islam, Sekian dari saya, mohon maaf.

pemikiran al-JILI



Al-Jili

A.    Biografi Al-Jilly
Nama lengkap tokoh ini ialah ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan “Syeikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Beliau terkadang disebut al-Jailani karena dianggap masih ada hubungan deng Syekh Abdul Qadir Jailani (wafat 561 H / 1166 M) yang termasyhur itu.[1]
Selain itu juga ia mendapat gelar “Quth al-Din” (poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hirarki sufi. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad, dengan alasan bahwa menurut pengakuannya sendiri ia adalah keturunan Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‘Abd al-Qadir al-Jailani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H. Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli.
Namun setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk, keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779 H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806 H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w.821).[2]
B.     Karya-karyanya
Karya-karya al-Jilli sebagaimana riwayat hidupnya tidak banyak diketahui secara pasti, namun terdapat tiga tokoh pemikir yang melakukan penelitian mengenai karya-karya al-Jilli. Namun, karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang dilakukan oleh Haji Khalifah, yang menurutnya masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-Jilli adalah:[3]
1.      Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail.[4]
2.      Al-Durrah al-‘Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah
3.      Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim.
4.        Lawami’ al-Barq
5.      Maratib al-Wujud
6.      Al-Namus al-Aqdam
C.    Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits :[5]
خلق الله ادم على صورة الرحمن
 “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman.”(HR. al-Bukhari).
Hadits lain yang berbunyi:
خلق الله ادم على صورته
“Allah menciptakan Adam, dalam bentuk diri-Nya.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).[6]
Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa  dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia.[7]
Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna).[8]
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) pengertian insan al-kamil terbagi menjadi dua yaitu:
a. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
D. Analisis corak pemikiran al-Jili
Setelah saya meneliti  corak pemikiran yang dibawa oleh al-Jili yaitu insan al-kamil, dalam pemikirannya dia mempunyai dua pemikiraan, yakni:
a.       Insan al-kamil nuskhah tuhan
Bagi al-Jili, manusia diciptakan adalah bentuk dari nuskhah tuhan, sesuai dengan hadits imam Bukhari  “Allah menciptakan Adam, dalam bentuk diri-Nya.” (HR. Al-Bukhari-Muslim). Jadi pada intinya insan kamil berhubungan dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat dirinya, dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang yang ada didalam esensi dirinya.
b.      Insan al-kamil seperti nabi Muhammad SAW
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal, tidak hanya sebagai utusan Allah semata, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini. Olah karena itulah Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Rasulullah SAW memang benar-benar uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan allah yang terbaik oleh karena itu rujukan insan al-kamil yaitu nabi SAW karena beliau makhluk ciptaan yang terbaik dan benar-benar yang mulia.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ  
Dan Sesungguhnya engkau (muhammad)  benar-benar berbudi pekerti yang berakhlak mulia.(al-Qalam; 4).








DAFTAR PUSTAKA

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997, Ensiklopedi Islam Jilid 2, Cet .IV; Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
Mansur Laily, 2002, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mansyur H. M. Laily, 1999 Ajaran dan Teladan para Sufi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Mutahhari Murtadha, 2003, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Jakarta : Pustaka Zahra
Rosihan Anwar, dkk, 2004, Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia



[1] H. M. Laily Mansyur,, Ajaran dan Teladan para Sufi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1999), h.234.
[2] Rosihan, Anwar, dkk. Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia,2004), hlm 143-144.
[3] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)  hlm. 185-187.

[4] Ibid, 235.
[5] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)  hlm. 185-187.
[6] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), h. 281-282.
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 2, Cet .IV; Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 227
[8] Murtadha Mutahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Jakarta : Pustaka Zahra, 2003, h. 327